Jakarta, Indonesia, August 22, 2021 – The Green Waqf Project initiated by Mr Muhaimin Iqbal is strategic, locally, nationally, and globally. Besides facilitating the collaboration of activists in the field of waqf, environmental, and renewable energy, this Green Waqf Project is very much in line with most Sustainable Development Goals (SDGs). The orientation of the Green Waqf is to answer today’s global issues, including climate change and energy security, said Dr Lisa Listiana as Project Coordinator of the Green Waqf.
This project was launched directly by the Commissioner of Badan Wakaf Indonesia (BWI), Dr Irfan Syauqi Beik, along with the initiator Mr Muhaimin Iqbal and the coordinator Dr Lisa Listiana. The event was broadcasted virtually through Zoom, YouTube, and Umma Indonesia. This launching was inspired by the 76th Independence Day of the Republic of Indonesia and the spirit of the Islamic New Year to benefit the people, improve the environment, and achieve social energy independence through renewable energy. The launching event organized by the Waqf Center for Indonesian Development and Studies (WaCIDS) and the Indonesian Waqf Fund Foundation (YDWI) was attended by various invited institutions, organizations, and communities, such as Bank Indonesia, KNEKS, IAEI, MES, Mata Garuda, Greeneration, Green Welfare, ThRU, etc. This project collaborates with several strategic partners such as the Visi Peradaban Foundation, IQRA’ Alfatih Institute, Sinergi Foundation, and BWI. Especially for the launching event, 27 organizations and communities joined as partners to assist the event publication.
“The commercial planting of 14 million critical lands is not very attractive, so using waqf can be effective because it does not use commercial calculations. Various hadiths became the underlying basis for continuing this planting project with the waqf scheme. This project uses the Nyamplung/Tamanu plant for the vision of renewable energy from Wali’s history. The focus is how to plant 14 million hectares and save the earth with the help of technology. Planting on the basis of seeking God’s pleasure and reward will not be cut off until the end of time,” said Mr Muhaimin Iqbal as the initiator of Green Waqf.
Member of the Commissioner of BWI, Dr Irfan Syauqi Beik, in the opening of the virtual launching of Green Waqf, said that BWI strongly encourages the emergence of innovations in the field of waqf that can optimize waqf and national sustainable development. Innovations related to Green Waqf can promote the SDGs principles and preserve natural wealth and sustainability. BWI will support so that this program can be implemented in Indonesia on a massive scale.
Dyah Roro Esti, WP, BA, M.Sc, as a Member of DPR RI Commission VII, said that one of the legal protections for energy in Indonesia is Law 16 of 2016. According to The Paris Agreement, The Nationally Determined Contribution (NDC) sets a target for reducing greenhouse gas emissions in Indonesia, which is 29% unconditional (with own efforts) and 41% conditional (with sufficient international support) by 2030. Emission reductions of 29% consist of 17% of the forestry sector, 11% of the energy sector, and 1% of other sectors. The linkage of renewable energy and the existence of a Green Waqf can reduce inequality and empower local resources for major investments, including renewable energy and low-carbon development.
In Islam, SDG 7 about the development of renewable energy and SDG 13 about environmental conservation are God’s mandate to humans as caliphs on earth(khalifatullah fil ardh),according to QS. Al-Baqarah verse 30. Thus, the development of renewable energy and environmental preservation are suitable as objects of waqf funding.
“Until now, there are still many people in Indonesia who do not get enough energy. With the existence of waqf, domestic capacity will increase through increasing clean energy. Producers of hydropower and solar panels are turned on, and domestic investment is improved, one of which is waqf financing. The hope is that waqf can play a big role in this goal.” said Prof. Mukhtasor, PhD, as an expert in the field of energy.
Asep Irawan, as a Deputy Chair of the Productive Waqf Forum (FWP), discussed the program and potential of productive waqf in the strategic sector to collaborate with the Green Waqf Project. He discussed some of the impacts of environmental damage in Indonesia and continued to provide the function of humans as representatives (Khalifah) on the earth. One of them is protecting the natural environment and human life. Concerning the Green Waqf project, he conveyed the Prophet’s encouragement to plant trees that would become alms and some waqf practices for nature conservation and energy security that have been carried out in Islamic traditions for centuries waqf in the form of forest and garden.
“The Islamic hybrid financing model in the form of waqf can be used to increase climate resilience inclusively and sustainably—climate resilience targeted by farmers. Waqf provides funding access for farmers. Farmers are also directed to carry out environmentally-friendly agricultural practices so that there is a climate change adaptation process,” said Greget Kalla Buana, M.Sc., an Islamic Finance Specialist from UNDP Indonesia.
Therefore, the Green Waqf project is a shared agenda. It requires enthusiasm and support from various parties and the public at large. It needs mutual support to attain energy independence and environmentally friendly behaviour which does not cause damage to our earth. In addition, an effective synergy can be established from the existence of a coordination forum that actively provides solutions and policy suggestions for the country of Indonesia.
By: Salwa Athaya Syamila, Lu’liyatul Mutmainah, and Uning Musthofiyah
Editor: Dr. Lisa Listiana
Categories: Berita
Tags: EBTgreenwaqfindonesianwaqfcenterrenewable energySDGsWaCIDSwaqfwaqfcenter
Jakarta, Indonesia, 22 Agustus 2021 – Gerakan Green Waqf yang diinisiasi Bapak Muhaimin Iqbal sangat strategis, baik secara lokal, nasional, maupun global. Selain dapat memfasilitasi kolaborasi penggiat wakaf, aktivis lingkungan, dan penggiat Energi Baru dan Terbarukan (EBT), Green Waqf sangat sejalan dengan berbagai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals (SDGs). Orientasi Green Waqf adalah untuk menjawab permasalahan global hari ini, termasuk isu perubahan iklim dan ketersediaan energi, demikian disampaikan Dr. Lisa Listiana sebagai Koordinator Gerakan Green Waqf.
Gerakan ini telah diresmikan langsung oleh Komisioner Badan Wakaf Indonesia (BWI) Dr. Irfan Syauqi Beik bersama inisiator Green Waqf Bapak Muhaimin Iqbal dan Koordinator Gerakan Green Waqf Dr. Lisa Listiana. Acara yang disiarkan secara virtual melalui platform Zoom, Youtube, dan Umma Indonesia disemangati oleh hari kemerdekaan Republik Indonesia ke-76 dan semangat Tahun Baru Islam untuk memberikan kebermanfaatan bagi umat serta memperbaiki lingkungan dan mencapai kemandirian energi yang ramah melalui EBT. Acara launching yang diselenggarakan oleh Waqf Center for Indonesian Development and Studies (WaCIDS) dan Yayasan Dana Wakaf Indonesia (YDWI) dihadiri oleh undangan dari berbagai institusi, organisasi dan komunitas, seperti Bank Indonesia, KNEKS, IAEI, MES, Mata Garuda, Greeneration, Green Welfare, ThRU, dll. Gerakan ini menggandeng beberapa partner strategis seperti Visi Peradaban Foundation, IQRA’ Alfatih Institute, Sinergi Foundation, dan Badan Wakaf Indonesia. Khusus acara launching terdapat 27 organisasi dan komunitas yang bergabung sebagai partner.
Penanaman 14 juta lahan kritis secara komersial tidak begitu menarik, sehingga dengan menggunakan wakaf bisa menjadi efektif sebab tidak memakai hitung-hitungan komersial. Berbagai hadits menjadi dasar untuk melanjutkan proyek penanaman ini dengan wakaf. Proyek ini memakai tanaman Nyamplung untuk visi renewable energy dari sejarah wali. Fokusnya bagaimana 14 juta hektar ditanami dan menyelamatkan bumi dengan bantuan teknologi. “Menanam dengan dasar mencari ridha Allah dan pahala tidak akan terputus hingga akhir zaman,” kata Bapak Muhaimin Iqbal selaku inisiator Green Waqf.
Anggota Komisioner BWI, Dr. Irfan Syauqi Beik dalam pembuka launching virtual Green Waqf menyampaikan bahwa BWI sangat mendorong munculnya inovasi di bidang wakaf yang bisa mengoptimalkan perwakafan dan pembangunan berkelanjutan nasional. Inovasi terkait Green Waqf bisa membawa prinsip SDGs serta menjaga kekayaan dan kelestarian alam. BWI akan ikut mendorong semaksimal mungkin agar program ini dapat dilaksanakan di Indonesia secara masif.
Dyah Roro Esti, W.P, B.A, M.Sc selaku Anggota DPR RI Komisi VII menyampaikan bahwa payung hukum energi di Indonesia salah satunya dalam UU No 16 tahun 2016 dan NDC mempunyai target untuk mengurangi emisi sebesar 29% dengan upaya sendiri dan 41% dengan kerjasama internasional pada tahun 2030. Pengurangan emisi sebesar 29% terdiri dari 17% sektor kehutanan, 11% sektor energi, dan 1% sektor lainnya. Keterkaitan EBT dan adanya Green Waqf dapat mengurangi ketidakadilan energi dan memberdayakan sumber-sumber lokal untuk investasi besar, termasuk pengembangan EBT dan pembangunan rendah karbon. Dalam Islam, pengembangan EBT berdasarkan SDG 7 dan pelestarian lingkungan berdasarkan SDG 13, adalah amanat Allah kepada manusia sebagai khalifah di muka bumi sesuai QS Al-Baqarah ayat 30. Menurut beliau, pengembangan EBT dan pelestarian lingkungan cocok sebagai objek pendanaan dengan skema wakaf.
“Hingga saat ini, masih banyak warga di Indonesia belum mendapatkan energi yang cukup. Dengan adanya wakaf, maka kemampuan dalam negeri akan meningkat melalui peningkatan energi bersih. Produsen PLTA dan panel surya dihidupkan dan investasi dana dalam negeri diperbaiki salah satunya dengan pembiayaan wakaf. Harapannya, wakaf bisa memberikan peran besar dalam hal ini.” kata Prof. Mukhtasor, Ph.D selaku ahli di bidang energi.
Bapak Asep Irawan selaku Wakil Ketua Forum Wakaf Produktif membahas mengenai program dan potensi wakaf produktif di sektor strategis untuk sinergi dengan Gerakan Green Waqf. Beliau membahas beberapa dampak akibat kerusakan lingkungan di Indonesia dan dilanjutkan memberikan fungsi khalifah di muka bumi. Salah satunya menjaga lingkungan alam serta keberlangsungan hidup manusia. Berkaitan dengan Green Waqf project beliau menyampaikan dorongan Nabi untuk menanam pohon yang akan menjadi sedekah serta beberapa praktik wakaf untuk konservasi alam dan ketahanan energi yang sudah dilakukan dalam tradisi Islam selama berabad-abad, seperti wakaf hutan dan wakaf kebun.
“Model pembiayaan bauran Islami berupa wakaf bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan ketahanan iklim secara inklusif dan berkelanjutan. Ketahanan iklim yang targetnya para petani. Dengan wakaf memberikan akses pendanaan untuk para petani. Para petani juga diarahkan untuk melakukan praktik-praktik pertanian ramah lingkungan, sehingga ada proses adaptasi perubahan iklim,” kata Greget Kalla Buana, M.Sc selaku Islamic Finance Specialist dari UNDP Indonesia .
Dengan begitu, gerakan Green Waqf merupakan agenda bersama. Bukan hanya milik lembaga, tetapi membutuhkan semangat dan dukungan dari berbagai pihak dan masyarakat Indonesia. Saling mendukung agar kemandirian energi dapat tercapai dan ramah terhadap lingkungan, serta tidak menyebabkan kerusakan bagi bumi kita. Sinergi secara efektif dapat terbentuk dari adanya forum koordinasi yang secara aktif memberikan solusi dan kebijakan bagi negeri Indonesia.
Oleh: Salwa Athaya Syamila dan dan Lu’liyatul Mutmainah, S.E, M.Si
Editor: Dr. Lisa Listiana
Categories: Berita
Tags: EBTEnergi Baru dan TerbarukangreenwaqfkolaborasiumatWaCIDSwakaf
Pandemi COVID-19 mengakibatkan dampak multidimensi dan multisektoral di level global maupun nasional. Hampir seluruh daerah di Indonesia ikut terdampak, sehingga diperlukan berbagai upaya untuk pemulihan, termasuk dalam sektor ekonomi. Wakaf dengan berbagai potensinya memiliki peluang besar untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional dan regional. Demikian yang dijelaskan oleh pendiri sekaligus Direktur WaCIDS (Waqf Center for Indonesian Development and Studies), Dr. Lisa Listiana, dalam webinar “Gerakan Sadar Wakaf” Festival Ekonomi Syariah (FESyar) Kawasan Timur Indonesia beberapa waktu lalu.
Untuk mengambil peluang tersebut, selain belajar dari berbagai contoh best practice pengelolaan wakaf produktif di berbagai negara, penting untuk mempertimbangkan local context ataupun keunikan dari Indonesia. Hal tersebut penting disadari karena tidak semua yang cocok di negara lain, sesuai untuk diterapkan di Indonesia. Misalnya, dalam hal pengelolaan aset wakaf di Indonesia, khususnya untuk tanah wakaf yang terletak di lokasi tidak strategis, bisa jadi lebih cocok dikembangkan untuk sektor pertanian atau penghijauan, bukan sektor properti. Bahkan hal ini dapat menjadi peluang besar bagi Indonesia untuk mengelola aset wakaf, tidak hanya secara produktif, namun juga secara strategis. Hal inilah juga salah satu dasar bagi kehadiran Green Waqf yang rencananya akan diresmikan secara resmi pada 22 Agustus 2021/13 Muharram 1443.
Green Waqf Project saat ini akan fokus pada pengembangan tanaman Nyamplung (Tamanu) yang dapat bertahan di lahan kritis sehingga dapat menjadi bagian dari solusi atas 14 juta lahan kritis dan sangat kritis di Indonesia. Dengan teknologi yang masih terus dikembangkan, buah dari tanaman dapat diolah untuk menghasilkan Energi Baru Terbarukan (EBT). Dalam hal ini, wakaf dapat menjadi sarana untuk memperbaiki bumi, sekaligus sarana kolaborasi untuk masuk ke sektor strategis. Terlebih lagi dengan keterlibatan Indonesia di Paris Agreement untuk meminimasilir dampak negatif dari perubahan iklim, harapannya gerakan ini dapat merealisasikan kebaikan wakaf serta mendorong pemulihan ekonomi regional dimasa mendatang.
. Dalam penutupnya, menyimpulkan bahwa terdapat peluang besar bagi wakaf untuk berkontribusi pada pemulihan ekonomi regional, melalui penyaluran aset atau dana wakaf pada sektor-sektor utama pendorong ekonomi umat yang bersifat high demand. Serta perlu adanya sinergi dari seluruh stakeholders untuk secara berjamaah mendorong pengelolaan dana wakaf secara efektif, efisien, dan transparan.
“Wakaf merupakan konsep investasi untuk keabadian. Sehingga dengan berwakaf kita bisa mempersiapkan bekal keabadian untuk akhirat kelak. Mari berwakaf sejak dini, InsyaAllah akan memberikan keberkahan dan kebermanfaatan bagi kita semua, serta dapat mendukung pemulihan ekonomi nasional,” tutup Zeezee Shahab selaku moderator webinar bertajuk “Gerakan Sadar Wakaf” yang diselenggarakan oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Gorontalo.
Oleh: Iffah Hafizah
Editor: Dr. Lisa Listiana
Categories: Berita
Tags: EBTgreenwaqfpedulibumipenghijauanberbasiswakafVisiPeradabanIslamWaCIDSwakafwakaf indonesia
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Imam Wahyudi Indrawan (Peneliti pada Waqf Center for Indonesian Development and Studies (WaCIDS))
Pandemi Covid-19 membawa dampak yang besar bagi kehidupan manusia. Pandemi yang awalnya merupakan krisis bidang kesehatan kemudian menjadi krisis multidimensi yang mempengaruhi semua aspek kehidupan manusia, termasuk bidang ekonomi. Hal ini merupakan kondisi yang tidak dapat dielakkan semua negara di dunia, termasuk Indonesia.
Upaya untuk menghentikan penyebaran Covid-19 dilakukan oleh pemerintah memiliki efek samping yaitu pertumbuhan ekonomi yang menurun. Berdasarkan rilis data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia selama tahun 2020 mengalami kontraksi atau pertumbuhan ekonomi negatif yang mencapai -2,07 persen. Kondisi ini masih berlanjut pada triwulanan pertama tahun 2021 yang juga mencatat kontraksi ekonomi mencapai -0,74 persen.
Pemerintah kemudian melakukan berbagai langkah dalam rangka Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), seperti vaksinasi di berbagai wilayah hingga menggelontorkan anggaran PEN yang pada tahun 2021 mencapai Rp 699,43 triliun. Namun, merebaknya berbagai varian baru virus Covid-19 menimbulkan kekhawatiran akan semakin panjangnya masa pemulihan ekonomi di tengah kondisi fasilitas kesehatan yang dipenuhi masyarakat yang mengalami sakit.
Berangkat dari hal tersebut, penulis memandang bahwa ke depan harus ada suatu upaya agar pembiayaan pembangunan bisa bersifat berkelanjutan namun tidak memberikan fiskal baru bagi pemerintah. Namun di sisi lain hal tersebut harus bisa memastikan dampak yang optimal bagi masyarakat di berbagai dimensi pembangunan.
Oleh karena itu, optimalisasi peran wakaf di dalam perekonomian Indonesia perlu ditingkatkan. Hal ini sejalan dengan aturan normatif, yaitu Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 yang menyatakan bahwa wakaf ditujukan untuk keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan masyarakat. Selain itu, Pasal 22 dari UU yang sama juga menyatakan bahwa peruntukan dari pengelolaan wakaf dapat mencakup sektor keagamaan, pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi umat, dan sektor lainnya selama tidak bertentangan dengan syariah. Wakaf juga secara historis telah terbukti menggerakkan berbagai sektor di dalam perekonomian, baik pertanian (wakaf lahan Khaibar milik Umar bin Khattab), irigasi (wakaf sumber air Raumah oleh Utsman bin Affan), hingga pendidikan (wakaf Universitas Al-Azhar Kairo dan berbagai kampus Islam di seluruh dunia).
Dalam konteks Indonesia, beberapa bentuk optimalisasi wakaf bagi upaya PEN dapat dilakukan melalui beberapa bentuk. Pertama, lahan-lahan wakaf yang belum dikelola secara optimal hendaknya dikumpulkan untuk kemudian dilakukan tukar guling (istibdal) dengan lahan lain yang lebih besar potensi pengelolaannya. Salah satu potensi pengelolaan lahan wakaf ini adalah pengadaan fasilitas bersama bagi Industri Kecil Menengah (IKM) halal di Indonesia, seperti sektor makanan minuman halal dan fesyen Muslim.
IKM sebagai industri memiliki skala kecil dan upaya untuk meningkatkan kapasitasnya dan juga memenuhi permintaan yang meningkat sering terkendala oleh fasilitas yang minim, misalkan mesin produksi maupun pabrik untuk berproduksi. Maka, kehadiran lahan wakaf yang menyediakan fasilitas produksi bersama bagi IKM halal akan dapat mengurangi biaya investasi yang mahal sekaligus menggerakkan sektor riil. Dari perspektif makroekonomi, apabila IKM halal digerakkan selain mendorong pertumbuhan ekonomi juga akan meningkatkan serapan tenaga kerja, mengontrol inflasi khususnya terkait penyediaan bahan pangan, serta menyediakan devisa jika mampu menembus pasar ekspor.
Untuk memperkuat inisiatif di atas, perlu juga dilakan optimalisasi pengelolaan wakaf uang. Penguatan ini dapat dilakukan melalui dua bentuk. Pertama, wakaf uang sebagai sumber pembiayaan bagi sektor riil, khususnya IKM halal. Misalkan IKM fesyen yang membutuhkan mesin jahit, maka nazhir wakaf uang menyediakan pembiayaan dari dana wakaf uang dengan akad syariah. Hal ini diharapkan dapat menjadikan pembiayaan IKM halal dapat sesuai syariah namun memiliki “biaya dana” atau margin pembiayaan yang rendah sembari tetap mendorong produktivitas IKM tersebut.
Selain itu, skema Cash Waqf Linked Sukuk (CWLS) yang telah digulirkan pemerintah perlu dikembangkan lebih lanjut. Salah satunya adalah Sukuk Negara yang menjadi basis CWLS hendaknya adalah sukuk hijau (green sukuk) atau bahkan sukuk biru (blue sukuk) sehingga dana wakaf uang diinvestasikan pada proyek pemerintah yang pro-lingkungan maupun berorientasi pembangunan maritim sebelum kemudian keuntungan dari investasi sukuknya dimanfaatkan oleh nazhir wakaf untuk program-program keumatan. Hal ini juga untuk mendorong agar wakaf berperan dalam upaya konservasi lingkungan dan pembangunan maritim di tengah ancaman perubahan iklim yang tidak kalah berbahaya dibandingkan pandemi.
Selain CWLS, pemerintah juga perlu mendorong penerapan skema Sukuk Linked Waqf (SLW), yaitu sukuk yang digunakan untuk membiayai pembangunan di lahan-lahan wakaf dengan menggerakkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Skema ini sebenarnya telah digaungkan sejak kegiatan Indonesia Sharia Economic Festival (ISEF) Bank Indonesia pada tahun 2016 lalu namun belum dijalankan. Adanya kebutuhan untuk PEN maupun pengadaan berbagai logistik dan fasilitas kesehatan seyogyanya dapat mendorong agar skema SLW dapat diterapkan sekaligus juga untuk mengoptimalkan lahan wakaf yang masih belum digunakan secara optimal.
Untuk mewujudkan hal-hal di atas, beberapa hal pendukung harus dikerjakan secara paralel, seperti: 1) penguatan aspek regulasi, termasuk amandemen UU Wakaf; 2) peningkatan kapasitas sumber daya insani nazhir wakaf, termasuk kurikulum ke-nazhir-an di lembaga pendidikan; dan 3) penguatan data dan informasi wakaf berbasis digital sehingga pelaporan, pemantauan, hingga evaluasi perwakafan nasional dapat dilakukan secara cepat dan terintegrasi. Sinergi berbagai pihak, baik regulator di berbagai sektor hingga akademisi dan masyarakat luas diperlukan sehingga harapan bahwa wakaf dapat mewujudkan PEN dan pembangunan yang berkelanjutan dapat terwujud.
Artikel ini juga telah dimuat di Republika Online
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Imam Wahyudi Indrawan (Peneliti pada Waqf Center for Indonesian Development and Studies (WaCIDS))
Pandemi Covid-19 membawa dampak yang besar bagi kehidupan manusia. Pandemi yang awalnya merupakan krisis bidang kesehatan kemudian menjadi krisis multidimensi yang mempengaruhi semua aspek kehidupan manusia, termasuk bidang ekonomi. Hal ini merupakan kondisi yang tidak dapat dielakkan semua negara di dunia, termasuk Indonesia.
Upaya untuk menghentikan penyebaran Covid-19 dilakukan oleh pemerintah memiliki efek samping yaitu pertumbuhan ekonomi yang menurun. Berdasarkan rilis data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia selama tahun 2020 mengalami kontraksi atau pertumbuhan ekonomi negatif yang mencapai -2,07 persen. Kondisi ini masih berlanjut pada triwulanan pertama tahun 2021 yang juga mencatat kontraksi ekonomi mencapai -0,74 persen.
Pemerintah kemudian melakukan berbagai langkah dalam rangka Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), seperti vaksinasi di berbagai wilayah hingga menggelontorkan anggaran PEN yang pada tahun 2021 mencapai Rp 699,43 triliun. Namun, merebaknya berbagai varian baru virus Covid-19 menimbulkan kekhawatiran akan semakin panjangnya masa pemulihan ekonomi di tengah kondisi fasilitas kesehatan yang dipenuhi masyarakat yang mengalami sakit.
Berangkat dari hal tersebut, penulis memandang bahwa ke depan harus ada suatu upaya agar pembiayaan pembangunan bisa bersifat berkelanjutan namun tidak memberikan fiskal baru bagi pemerintah. Namun di sisi lain hal tersebut harus bisa memastikan dampak yang optimal bagi masyarakat di berbagai dimensi pembangunan.
Oleh karena itu, optimalisasi peran wakaf di dalam perekonomian Indonesia perlu ditingkatkan. Hal ini sejalan dengan aturan normatif, yaitu Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 yang menyatakan bahwa wakaf ditujukan untuk keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan masyarakat. Selain itu, Pasal 22 dari UU yang sama juga menyatakan bahwa peruntukan dari pengelolaan wakaf dapat mencakup sektor keagamaan, pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi umat, dan sektor lainnya selama tidak bertentangan dengan syariah. Wakaf juga secara historis telah terbukti menggerakkan berbagai sektor di dalam perekonomian, baik pertanian (wakaf lahan Khaibar milik Umar bin Khattab), irigasi (wakaf sumber air Raumah oleh Utsman bin Affan), hingga pendidikan (wakaf Universitas Al-Azhar Kairo dan berbagai kampus Islam di seluruh dunia).
Dalam konteks Indonesia, beberapa bentuk optimalisasi wakaf bagi upaya PEN dapat dilakukan melalui beberapa bentuk. Pertama, lahan-lahan wakaf yang belum dikelola secara optimal hendaknya dikumpulkan untuk kemudian dilakukan tukar guling (istibdal) dengan lahan lain yang lebih besar potensi pengelolaannya. Salah satu potensi pengelolaan lahan wakaf ini adalah pengadaan fasilitas bersama bagi Industri Kecil Menengah (IKM) halal di Indonesia, seperti sektor makanan minuman halal dan fesyen Muslim.
IKM sebagai industri memiliki skala kecil dan upaya untuk meningkatkan kapasitasnya dan juga memenuhi permintaan yang meningkat sering terkendala oleh fasilitas yang minim, misalkan mesin produksi maupun pabrik untuk berproduksi. Maka, kehadiran lahan wakaf yang menyediakan fasilitas produksi bersama bagi IKM halal akan dapat mengurangi biaya investasi yang mahal sekaligus menggerakkan sektor riil. Dari perspektif makroekonomi, apabila IKM halal digerakkan selain mendorong pertumbuhan ekonomi juga akan meningkatkan serapan tenaga kerja, mengontrol inflasi khususnya terkait penyediaan bahan pangan, serta menyediakan devisa jika mampu menembus pasar ekspor.
Untuk memperkuat inisiatif di atas, perlu juga dilakan optimalisasi pengelolaan wakaf uang. Penguatan ini dapat dilakukan melalui dua bentuk. Pertama, wakaf uang sebagai sumber pembiayaan bagi sektor riil, khususnya IKM halal. Misalkan IKM fesyen yang membutuhkan mesin jahit, maka nazhir wakaf uang menyediakan pembiayaan dari dana wakaf uang dengan akad syariah. Hal ini diharapkan dapat menjadikan pembiayaan IKM halal dapat sesuai syariah namun memiliki “biaya dana” atau margin pembiayaan yang rendah sembari tetap mendorong produktivitas IKM tersebut.
Selain itu, skema Cash Waqf Linked Sukuk (CWLS) yang telah digulirkan pemerintah perlu dikembangkan lebih lanjut. Salah satunya adalah Sukuk Negara yang menjadi basis CWLS hendaknya adalah sukuk hijau (green sukuk) atau bahkan sukuk biru (blue sukuk) sehingga dana wakaf uang diinvestasikan pada proyek pemerintah yang pro-lingkungan maupun berorientasi pembangunan maritim sebelum kemudian keuntungan dari investasi sukuknya dimanfaatkan oleh nazhir wakaf untuk program-program keumatan. Hal ini juga untuk mendorong agar wakaf berperan dalam upaya konservasi lingkungan dan pembangunan maritim di tengah ancaman perubahan iklim yang tidak kalah berbahaya dibandingkan pandemi.
Selain CWLS, pemerintah juga perlu mendorong penerapan skema Sukuk Linked Waqf (SLW), yaitu sukuk yang digunakan untuk membiayai pembangunan di lahan-lahan wakaf dengan menggerakkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Skema ini sebenarnya telah digaungkan sejak kegiatan Indonesia Sharia Economic Festival (ISEF) Bank Indonesia pada tahun 2016 lalu namun belum dijalankan. Adanya kebutuhan untuk PEN maupun pengadaan berbagai logistik dan fasilitas kesehatan seyogyanya dapat mendorong agar skema SLW dapat diterapkan sekaligus juga untuk mengoptimalkan lahan wakaf yang masih belum digunakan secara optimal.
Untuk mewujudkan hal-hal di atas, beberapa hal pendukung harus dikerjakan secara paralel, seperti: 1) penguatan aspek regulasi, termasuk amandemen UU Wakaf; 2) peningkatan kapasitas sumber daya insani nazhir wakaf, termasuk kurikulum ke-nazhir-an di lembaga pendidikan; dan 3) penguatan data dan informasi wakaf berbasis digital sehingga pelaporan, pemantauan, hingga evaluasi perwakafan nasional dapat dilakukan secara cepat dan terintegrasi. Sinergi berbagai pihak, baik regulator di berbagai sektor hingga akademisi dan masyarakat luas diperlukan sehingga harapan bahwa wakaf dapat mewujudkan PEN dan pembangunan yang berkelanjutan dapat terwujud.
Artikel ini juga telah dimuat di Republika Online
Categories: BeritaOpini