Aspirasi WaCIDS untuk RUU Energi Baru dan Terbarukan (EBT)

Oleh wacids, Dibuat tanggal 2021-02-22

wacids.or.id – Oleh: Lisa Listiana, S.E, M.Ak, Ph.D (Cand) – Founder Waqf Center for Indonesian Development & Studies (WaCIDS)).

Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) masuk dalam Prolegnas 2020-2024 Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Berdasarkan rekam jejak di kanal DPR RI, RUU ini sudah mulai dibahas oleh Komisi VII sejak 17 September 2020. Sebagai salah satu bentuk kontribusi, Waqf Center for Indonesian Development and Studies (WaCIDS) yang memiliki visi untuk menjadi pusat pengkajian dan pengembangan wakaf di Indonesia secara strategis telah mengirimkan aspirasi/masukan melalui badan legislasi, komisi terkait, dan perwakilan fraksi di DPR RI.

WaCIDS melihat perlunya mekanisme ataupun kesempatan agar 1) wakaf uang dapat diinvestasikan di Badan Usaha yang mengusahakan dan menyediakan EBT dan/atau 2) lembaga pengelola aset wakaf yang memenuhi syarat dapat memperoleh izin pengusahaan dan penyediaan EBT.

Masukan ini diberikan dengan mempertimbangkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 33 dan beberapa Pasal dalam RUU EBT, diantaranya Pasal 2, 3, 5, 9, 16, 19, 24, 32, 35, 36, 46, 47, 48, 49, 50, 52. Orientasi EBT untuk menjamin ketahanan dan kemandirian energi nasional yang mendukung perekonomian nasional dan mengembangkan serta memperkuat posisi industri dan perdagangan Indonesia yang pada akhirnya diharapkan menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang adil dan merata serta tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup sejalan dengan karakteristik dan potensi wakaf. Jika diberikan kesempatan dan dikelola dengan profesional, wakaf dapat berkontribusi dalam pembangunan ekonomi guna sebesar-besarnya kepentingan rakyat Indonesia.

Dalam sistem ekonomi kapitalis, pemilik modal adalah pihak yang paling diuntungkan karena modal yang dimiliki dapat diinvestasikan ke berbagai proyek strategis, termasuk sektor EBT. Kondisi ini terus berulang sehingga terjadilah yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Kekayaan 4 orang terkaya di Indonesia lebih besar daripada gabungan 40% atau 108 juta orang paling miskin di Indonesia (The Interpreter, 2020). Disinilah urgensi memberikan ruang bagi wakaf uang dan/atau lembaga pengelola aset wakaf untuk terlibat dalam Badan Usaha di bidang EBT. Wakaf uang dapat menjadi instrumen untuk mengakumulasi aset ummat yang dapat digunakan sebagai “modal patungan” untuk berpartisipasi dalam sektor EBT.

Aset wakaf yang diinvestasikan di Badan Usaha di bidang EBT akan menghasilkan keuntungan karena produk atau jasa yang dihasilkan dibutuhkan secara masif oleh semua orang. Terlebih terdapat mekanisme penjaminan dari negara untuk membeli tenaga listrik yang dihasilkan dari EBT. Hal ini juga senada dengan pesan Ibnu Khaldun (Cendekiawan Muslim Abad ke-14) bahwa bisnis di sektor dengan kebutuhan tinggi (high demand) lebih bernilai dan menguntungkan. Termasuk dalam sektor dengan kebutuhan tinggi adalah sektor EBT yang dibutuhkan oleh setiap orang.

Dengan akad wakaf umum (khairi), aset yang dikelola oleh pengelola aset wakaf (nazhir) akan tetap menjadi milik ummat. Keuntungan yang diperoleh dapat disalurkan kepada penerima manfaat, termasuk masyarakat yang membutuhkan. Dengan mekanisme ini, wakaf dapat menjadi langkah nyata gerakan dari rakyat dan untuk rakyat yang mendorong pemerataan distribusi pendapatan dan mengurangi kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin. Dalam jangka panjang, diharapkan wakaf dapat turut meminimalisir kemiskinan. Selain itu, dengan menginvestasikan aset wakaf ke Badan Usaha di bidang EBT, wakaf dapat berkontribusi untuk membuka lapangan kerja baru.

Categories: Berita

Tags: Energi Baru dan TerbarukanRUU EBTWaCIDSwakaf