Oleh Tim Konten WaCIDS, Dibuat tanggal 2024-06-18
Selain memiliki berbagai manfaat yang potensial untuk berkontribusi dalam industri halal, tamanu juga berpeluang untuk dikembangkan dengan skema wakaf produktif. Hal ini juga dapat menjadi alternatif bagi solusi pemanfaatan lahan kurang produktif.
Walaupun laju deforestasi di Indonesia menurun setiap tahunnya, SK Dirjen PDASRH tahun 2022 menyebutkan bahwa masih terdapat 12,23 juta ha lahan kritis di Indonesia yang terdiri dari 10,6 juta ha tanah mineral dan 1,6 juta ha gambut. Jumlah lahan ini tergolong sangat luas apabila hanya ditelantarkan. Namun, tidak semua jenis tanaman dapat tumbuh pada lahan mineral dan lahan gambut.
Tamanu merupakan salah satu jenis tanaman yang mampu tumbuh pada lahan kritis. “Tamanu dapat ditemukan di seluruh Indonesia dalam beberapa varietas, artinya Indonesia sesuai untuk budidaya tamanu. Selain itu pohon tamanu dapat berbuah sepanjang musim dengan usia produktif yang panjang. Bahkan, saya menemukan pohon tamanu berusia 60 tahun yang masih berbuah” tutur Prof. Budi Leksono, peneliti senior di Badan Riset dan Inovasi Nasional yang menjadi salah satu narasumber dalam Webinar Tamanu Green Initiative: Merawat Alam dan Mendorong Industri Halal yang diadakan secara daring Sabtu, 08 Juni 2024. Kegiatan ini merupakan kolaborasi dari tim Green Waqf WaCIDS, Tim Pengabdian Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, dan Kelompok Studi Ekonomi Islam Universitas Diponegoro.
Biji tamanu merupakan salah satu bahan baku Bahan Bakar Nabati (BBN) dengan rendemen minyak yang tinggi sebesar 40-80%. Minyak tamanu termasuk dalam golongan non-edible oil sehingga mampu diterima dengan baik di pasar global. Nyatanya minyak tamanu bukan hanya dapat dimanfaatkan sebagai biodesel. Minyak tamanu juga dapat diolah menjadi bahan baku kosmetik, obat herbal, dan sabun. Limbah tamanu yang dibakar dapat menghasilkan briket arang dengan asap cair yang juga memiliki manfaat. Ampas biji tamanu dapat dijadikan dedak pakan ternak yang mampu bertahan selama enam bulan dan ketika sudah membusuk dapat digunakan sebagai kompos. “Saya pikir ini menjadi keuntungan untuk Indonesia dalam mengembangkan BBN dengan bahan baku biji tamanu.” imbuh Prof. Budi Leksono.
Safri Haliding, M.Sc.Acc selaku Kadiv Pengembangan Ekosistem Halal Industri Halal KDEKS Pemprov Sumsel yang juga menjadi salah satu narasumber menyampaikan bahwa apabila dilihat dari produk olahan tamanu maka dapat dikategorikan kedalam dua jenis halal ecosystem yaitu halal tourism dan halal cosmetic. Halal industri memastikan bahwa suatu produk dikategorikan halal sejak dari proses budidaya, pengadaan bahan baku, proses produksi, proses distribusi, hingga pemasaran. Keuntungan menggunakan produk dengan sertifikasi halal adalah adanya jaminan produk yang sehat, baik, dan higienis.
“Opsi keterlibatan nazhir dalam skema wakaf pada industri tamanu dapat berupa wakaf uang, wakaf melalui uang, bundling wakaf dan infak, serta 100% infak.” tutur Dr. Lisa Listiana selaku koordinator Gerakan Green Waqf dalam paparannya. Selain dapat menjadi salah satu pilihan dalam menjawab permasalahan lahan kritis Indonesia, aset wakaf bersifat kekal sehingga menjamin keberlanjutan pemanfaatan tamanu dari hulu ke hilir.
Oleh: Atiqoh Ula Mardiah dan Lisa Listiana
Kutip artikel ini: Mardiah, A.U & Listiana, L. (18 Juni 2024). Menjajaki Peluang Tamanu melalui Integrasi Wakaf dan Industri Halal: https://wacids.or.id/en/2024/06/18/menjajaki-peluang-tamanu-melalui-integrasi-wakaf-dan-industri-halal/