Dilema Sinergi Wakaf dan Pajak

Oleh Tim Konten WaCIDS, Dibuat tanggal 2022-04-03

Sinergi penerapan pajak pada lembaga memiliki beberapa peluang dan tantangan, di antaranya adalah kemungkinan terjadinya moral hazard. 

Pajak dan wakaf memiliki persamaan dan perbedaan. Baik pajak maupun wakaf keduanya merupakan suatu aset yang diberikan kepada negara dengan tujuan untuk mendorong kesejahteraan umum dan tidak terdapat imbal hasil secara langsung. Hanya saja pajak bersifat memaksa dan diatur oleh negara melalui undang-undang, sedangkan wakaf dianjurkan dalam agama Islam dan bersifat sukarela (sunnah).

“Seharusnya pemerintah memberikan insentif pajak pada lembaga wakaf karena aset wakaf diperuntukan untuk kesejahteran umum” ujar Nining dalam acara Waqf Training by WaCIDS #5.

Dalam pertemuan pertama yang diselenggarakan pada hari Minggu, 29 Agustus 2021 secara daring, Waqf Training by WaCIDS #5 yang mengambil topik Wakaf dan Perpajakan menghadirkan Ibu Nining Islamiyah, S.A., M.Sc. selaku trainer. Nining adalah Ketua Divisi Konten sekaligus peneliti di WaCIDS. Dalam pemaparannya, beliau membagi pembahasan menjadi tiga topik utama yaitu konsep pajak dan hubungannya dengan wakaf, peraturan perpajakan yang berkaitan dengan wakaf, serta peluang dan tantangan penerapan pajak pada lembaga wakaf.

Saat ini di Indonesia belum ada peraturan khusus yang membahas mengenai pajak atas wakaf. Peraturan mengenai pajak atas wakaf masih terdapat dalam peraturan perpajakan secara umum dan belum memiliki undang-undang tersendiri. Sebagai contoh, pengecualian tanah wakaf sebagai objek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hanya dicantumkan dalam penjelasan pasal 3 ayat 1 UU PBB. Perolehan atas aset wakaf juga dikecualikan dari Objek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), akan tetapi ketentuan mengenai hal tersebut berada dalam pasal 3 ayat 1 UU BPHTB. Bahkan hingga saat ini belum terdapat ketentuan perpajakan yang secara jelas menyebutkan tentang aset wakaf yang bukan berupa tanah dan bangunan, seperti uang atau benda bergerak lainnya. Keberadaan peraturan yang secara khusus mengatur mengenai pajak atas wakaf sangat mendesak untuk segera diwujudkan.

Peluang penerapan pajak pada lembaga wakaf sebetulnya cukup luas. Penerapan pajak dapat dilakukan terhadap aset wakaf yang sudah diproduktifkan dan memiliki nilai tambah dengan mengenakan tingkat pajak yang rendah. Selain itu, penerapan pajak juga dapat dilakukan untuk hasil investasi wakaf uang dan wakaf tanah yang belum disertifikasi. Walaupun demikian,  pemberlakuan pajak untuk lembaga wakaf diharapkan selaras dengan adanya pemberian insentif.  Hal ini ditujukan agar aset wakaf dapat tumbuh secara cepat sehingga manfaat yang dirasakan oleh masyarakat pun akan semakin luas.

Di sisi lain, pemberlakuan pajak untuk lembaga wakaf juga akan berpotensi menghadapi berbagai tantangan. Kurangnya literasi baik dari lembaga wakaf ataupun dari petugas pajak tentang aturan terkait perpajakan dan mengenai wakaf itu sendiri merupakan tantangan pertama yang harus dihadapi. Nining menjelaskan bahwa dalam acara FGD mengenai wakaf dan perpajakan yang diselenggarakan oleh WaCIDS belum lama ini, ia menemukan fakta bahwa petugas perpajakan sendiri baru mengetahui jika bentuk wakaf tidak terbatas pada tanah atau bangunan saja, melainkan dapat berupa aset lain seperti uang atau aset bergerak lainnya. Selain itu, sumber daya manusia yang dimiliki oleh lembaga wakaf juga belum memiliki kapasitas mumpuni dan masih kurang memahami terkait peraturan perpajakan atas aset wakaf. Berkenaan dengan permasalahan tersebut, maka sosialisasi terkait pajak dan wakaf sangat penting untuk dilakukan agar pengetahuan dari pihak nazhir dan petugas pajak bisa merata dan keduanya dapat saling memahami mengenai aturan-aturan yang berlaku mengenai pajak dan wakaf. 

Tantangan terakhir dalam penerapan insentif pajak untuk lembaga wakaf adalah terkait kemungkinan adanya moral hazard. Moral hazard yang dimaksudkan adalah niat buruk seseorang untuk memanfaatkan peraturan yang ada guna menghindari pengenaan pajak. Moral hazard dalam perpajakan mencakup tax evasion, tax avoidance, dan tax planning. Tax evasion adalah tindakan yang dilakukan dengan sengaja untuk menghindari beban pajak terutang dengan cara melanggar ketentuan perpajakan, seperti wajib pajak tidak melaporkan aset yang dimiliki agar beban pajak yang dikenakan menjadi lebih kecil. Tax avoidance adalah perilaku wajib pajak yang berusaha memanfaatkan celah yang ada dalam peraturan perpajakan untuk mengurangi beban pajak terutang yang dikenakan kepadanya. Perilaku ini masuk kedalam zona abu-abu (grey area), karena pelaku hanya memanfaatkan celah pada peraturan perpajakan tanpa melanggarnya. Meskipun demikian, perilakunya dapat mempengaruhi pendapatan dari sektor pajak. Tax planning adalah perilaku wajib pajak yang berusaha meminimalkan beban pajak terutang dengan memanfaatkan skema pengurangan/pemotongan pajak sesuai peraturan perpajakan yang berlaku. Perilaku ini boleh dilakukan karena tidak melanggar hukum. Selain itu, pemberian insentif pajak untuk lembaga wakaf juga dapat dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab guna mengurangi beban pajak terutangnya, yaitu dengan cara melaporkan aset yang dimilikinya sebagai aset wakaf.

Oleh: M Sena Nugraha Pamungkas & Nining Islamiyah

Kutip artikel ini:

Pamungkas, M.S.N. & Islamiyah, N. (3 April 2022). Dilema Sinergi Wakaf dan Pajak: https://wacids.or.id/2022/04/03/dilema-sinergi-wakaf-dan-pajak/

Categories: Berita
Tags: #Kebaikan Wakaf WaCIDS wakaf wakaf dan pajak wakaf indonesia